Friday, April 25, 2008
Refleksi Pribadi – Risa (X6/24)
Pada awal saya bertemu dengan pemulung yang bernama Pak Haris itu, saya merasa biasa saja. Tidak ada perasaan jijik, takut, atau kasihan. Dia tampak ala kadarnya, memakai baju lusuh dan membawa sebuah kantung besar. Lalu ketika saya mulai bertanya tentang kesehariannya, timbul perasaan iba. Dia tinggal sendirian di kota Jakarta yang kejam. Anak dan istrinya tinggal di kampung tanpa mengetahui bahwa sekarang ia harus bekerja keras sebagai pemulung hanya untuk mendapat makan. Dia harus bekerja dari pukul tiga pagi sampai pukul satu pagi. Ya, dia memulung selama itu setiap harinya. Jangankan punya waktu beristirahat yang cukup, tempat tinggal pun tak punya. Dan saya benar-benar terkejut saat dia mengatakan bahwa pendapatan dari memulung itu hanya sekitar sepuluh sampai empat puluh ribu rupiah. Sungguh, seketika itu juga saya merinding. Uang dalam jumlah yang dia sebutkan tadi sering saya habiskan dengan mudahnya. Bahkan saya hanya tinggal meminta dengan orang tua. Saya tidak perlu susah payah dan pusing memikirkan bagaimana caranya agar dapat makan hari ini. Saya tidak perlu berjalan kaki bila pergi ke suatu tempat. Tetapi pemulung itu harus berjalan kaki dari Senen ke Matraman setiap hari tanpa mengeluh. Saya saja yang sudah disediakan ini-itu masih suka mengeluh. Lalu ada yang lebih mengejutkan lagi. Dia hanya mempunyai dua buah baju, satu buah celana, dan satu buah pakaian dalam. Saya bertanya dalam hati, “ Apa Bapak tidak merasa risih mengenakan baju yang sudah kotor dan harus dipakai setiap hari?”. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang dia punya. Uangnya tidak cukup untuk membeli ini-itu. Seandainya saat itu saya membawa uang lebih, akan saya belikan satu buah baju dan selana untuk pemulung itu. Saya menjadi malu, baju saya sudah terlalu banyak tetapi jarang sekali saya gunakan semua, karena pasti baju-baju yang lama akan terlupakan dengan hadirnya baju-baju baru yang lebih bagus. Pemulung itu mandi di sungai, sedangkan saya selalu disiapkan air hangat tiap pagi. Dia tidak memakan daging karena tidak punya uang, Tetapi saya yang selalu makan daging dan makanan enak, masih suka mengeluh tidak mau makan lantaran bosan atau belum lapar. Dia mengeluh karena letih meskipun hanya makan sekali sehari. Namun saya yang makan tiga sampai empat kali sehari, sering mengeluh hanya karena letih mengerjakan tugas dan belajar untuk ulangan. Dia kuat hidup sendirian dan tidak menyerah meskipun pernah dipenjara dua kali karena tertangkap tramtib. Padahal saya selalu minta ditemani bila pergi ke suatu tempat karena tidak berani berjalan sendirian. Sungguh jauh perbedaan yang ada antara saya dan pemulung itu. Kemudian setelah selesai berbicara dengan pemulung itu, saya mencoba merefleksikan diri. Begitu beruntungnya saya bisa hidup seperti sekarang ini. Sungguh, saya menyesal sering mengeluh karena tidak mendapatkan barang yang saya inginkan. Saya sudah punya semuanya, tetapi mengapa saya terus meminta yang lebih? Saya sudah sering melihat di televisi bagaimana kehidupan orang miskin. Saya merasa iba. Tetapi berbeda rasanya saat saya bertemu dan berbicara langsung dengan orang miskin. Saya tidak menyangka dan baru tahu bahwa ternyata kehidupan mereka jauh lebih susah dari yang saya bayangkan. Saya benar-benar bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang harmonis dan berkecukupan, sehingga ayah saya tidak perlu membohongi kami sekeluarga akan pekerjaannya, seperti pemulung itu yang mengaku kepada keluarganya bahwa dia bekerja di Jakarta sebagai kuli bangunan. Saya beruntung karena sekarang tugas saya hanya belajar, tidak perlu bekerja keras mencari uang untuk makan. Jadi, mulai sekarang saya tidak boleh mengeluh dan harus berterima kasih atas apa yang diberikan oleh Tuhan kepada saya hari ini. Saya hanya perlu melaksanakan tugas saya sebagai seorang pelajar dengan baik, agar kelak saya dapat membantu orang-orang miskin seperti Bapak Haris.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment