Friday, April 25, 2008

Memenuhi Tantangan Hidup (Keteguhan Hati -part 2)

Kami pun berjalan kembali ke Dunkin Donuts kantor pos pusat. Saat berjalan, Tika dan Feli menyadari sesuatu yang kurang. dan ternyata benar, kami belum mengambil foto. Sehingga kami pun kembali untuk meminta foto. Tapi saat kami kembali, saya dipanggil oleh ibu tua yang tadi saat mewawancara Ibu Maria Ulfa tertidur di pagar kantor pos. Ternyata Ibu itu minta diwawancara. Lalu kami berdua pun mewawancarainya (berhubung tadi hanya menemani Feli dan Dysa yang ketakutan mewawancara orang :) dan kami belum menemukan narasumber). Kami pun akhirnya mewawancarai ibu ini.

Ibu ini bernama Ibu Sulastri. Beliau lahir di kampung halamannya, Surabaya, tahun 1947. Perjuangan Ibu Sulastri untuk hidup di Jakarta bisa dibilang cukup berat. Beliau sudah hidup menjanda selama 14 tahun memiliki 3 anak dan cucu yang banyak. Namun 2 anaknya sudah meninggal.

“Saya datang ke Betawi (Jakarta-red) diajak tetangga saya tahun 1962. Ditanya mau gak kamu ikut aku ke Betawi? Wah Betawi itu gimana ya? Ya namanya orang ga punya jadinya kita ikut aja. Eh ternyata usaha tetangga saya gagal terus hilang lupa sama saya gitu.”

Datang dari kampung tidak punya apa-apa dan tidak tahu apa-apa mengenai Betawi membuat Ibu Sulastri bingung. Namun beliau gigih walupun saat itu beliau hanya berumur 13 tahun. Ia ikut dengan tetangganya itu selama 3 tahun lalu tetangganya pergi balik ke kampung halamannya dan Ibu Sulastri tetap tinggal di Jakarta. Ia pun memulai usaha untuk berjualan soto madura. Namun ia berhenti berjualan karena polisi dan petugas satpol-pp yang selalu berpatroli.

“Saya tadinya jualan soto Madura tapi saya berhenti. Habisnya polisi sama petugas tramtib-nya jalan terus”

Sekarang Ibu Sulastri menjual barang-barang pos seperti perangko, amplop dan kartu di depan kantor pos pusat. Ibu Sulastri ini melanjutkan usaha yang sudah dijalankan oleh suaminya. Suami Ibu Sulastri meninggal 14 tahun yang lalu.

“Ibu tidak takut tersaing dengan Ibu Maria yang sama-sama jualan alat-alat pos?”
“Yah ngapain takut wong seng naro iku (yang mulai usaha-red) saya. Diakan adek saya.”

Ibu Sulastri berdagang di depan kantor pos tidak sendiri. Namun ada Ibu Maria Ulfa yang ternyata adalah adiknya sendiri.

Penghasilan yang diperoleh rata-rata 15-20 ribu rupiah. Menurut beliau, penghasilan ini sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari karena ia hidup bersama dengan Ibu Maria.

“Kalau dibilang cukup, alhamdulilah cukup. Ya kalau makan tempe, tempenya tidak digoreng dimakan pakai sayur aja. Minyakkan lagi mahal. Kalau disuruh usaha lain saya sudah males pindah-pindah lagi. Kalau beginikan kalau tidak laku masih bisa disimpan untuk besok.”

Pekerjaan sebagai pedagang benda-benda pos, Ibu Sulastri mengaku harus sabar dalam berjualan. “Kenapa saya pilih jualan benda-benda pos? Selain lanjutin usaha Bapak kalau tidak laku bisa disimpan lagi. Mungkin besok ada orang kesasar bisa kita jual,” candanya

“Dulu itu saya jualan sampai kaki saya pegel bisa sampai bengkak. apalagi kalau sudah dekat-dekat hari besar. Dulu tuh bisa capek saya ladenin. Cuma sejak ada ‘ini’ penghasilan saya bisa turun banget.”

Memang harus diakui sejak ada benda ‘ini’ penghasilan dari penjualan kartu-kartu natal, lebaran, dan lainnya berkurang. Benda itu adalah handphone. Memang harus diakui, sejak ada benda ini penghasilan dibidang surat-menyurat berkurang. Dulu untuk berhubungan dengan kakek-nenek atau sanak saudara dan kerabat lain di kampong halaman menggunakan surat. Namun sekarang, kita bisa bercerita kabar dengan sms ataupun juga dengan mengirimkan e-mail.

Memang seru mendengarkan cerita pengalaman dan kisah Ibu Sulastri ini walaupun wawancara dipinggir jalan raya. Melihat cuaca yang sudah mulai mendung kami pun pamit. Sebelumnya kami pun meminta foto. Namun Ibu Sulstri mau difoto dengan Ibu Maria. Jadilah kami foto berame-rame.




NB: fotonya sama dengan kelompoknya Feli dan Dysa karena minta Dysa fotoin. makasi dysa

Created by: Catherina Kartika Hapsari X6-7 and Emanuella Clarissa X6-11

No comments: