Pada tanggal 21 April 2008, saya (Isabella X6-14) bersama dengan Raissa (X6-22) pergi ke Pasar Baru untuk mewawancarai seseorang yang dapat dimintai keterangan mengenai kehidupan kesehariannya. Setelah kira-kira satu jam berkeliling, kami akhirnya bertemu dengan seorang Bapak tua yang berjualan di emperan toko tekstil. Bapak ini pakaiannya lusuh, sangat sederhana, sambil menghisap sebatang rokok. Kami pun mendatangi Bapak ini, lalu minta izin untuk melakukan wawancara. Setelah setuju, kami pun memulai wawancara kami.
"Ada apa ya, neng?"
"Permisi, Pak. Kami dari SMA Santa Ursula mau wawancara. Bisa ngga?"
"Oohh, yaa boleh boleh."
Bapak tua ini ternyata bernama Bapak Arifin. Ia adalah seorang tua berumur 76 tahun yang membiayai hidupnya dan anak-anaknya dengan berjualan uang-uang lama. Target pembeli uang-uang lama ini adalah para kolektor uang lama. Bapak Arifin adalah seorang duda yang mempunyai enam orang anak yang harus dibiayainya.
"Saya punya enam anak. Dua perempuan, empat lelaki. Semuanya udah pada nikah. Kalau istri, sudah lama meninggal. Jadi, saya yang membesarkan anak-anak saya."
Penghasilan Bapak Arifin hanya cukup untuk membiayai kehidupannya sendiri. Anak-anaknya sudah besar dan mempunyai keluarga sendiri. Bapak Arifin tidak ingin merepotkan anak-anaknya, sehingga Bapak Arifin kos di dekat pasar baru. Menjual uang lama tidaklah mudah karena para kolektor uang lama tidak datang ke pasar baru untuk membeli uang lama setiap harinya. Lagipula, di pasar baru banyak terdapat penjual uang lama lainnya, sehingga persaingan untuk mendapatkan pembeli juga sangat ketat.
"Saya sudah berjualan di Pasar Baru sejak tahun 1958, neng, " sahut Bapak Arifin sewaktu kami menanyakan sejak kapan ia bekerja. "
"Keadaan pasar baru dari dulu sampai sekarang sama-sama aja sih. Hanya, dulu pasar baru lebih ramai pembeli dibandingkan sekarang. Soalnya, saat ini banyak ada mall-mall gitu (berbagai pusat perbelanjaan yang lebih nyaman dan bersih -red) yang lebih bagus dibandingkan Pasar Baru."
Oleh sebab itulah, Bapak Arifin seringkali merasa sepi pembeli karena munculnya tempat-tempat baru yang lebih baik daripada Pasar Baru.
Ternyata, sebelum berjualan uang lama, Bapak Arifin terlebih dahulu bekerja sebagai penjual koran. Pak Arifin juga pernah menjual dan membeli dollar. Namun usahanya ini gagal sehingga beliau harus memulainya dari awal lagi sebagai penjual uang lama.
"Emm, saya mulai berjualan dari jam 8 pagi sampai 3 sore, neng, " sahutnya sambil menghembuskan kepulan asap dari hidungnya.
Kami pun bertanya darimanakah uang lama itu beliau dapatkan. Beliau menjawab, bahwa uang-uang lama itu beliau dapatkan dari pemborong yang ada di Pasar Baru. Jadi, beliau menjual uang-uang lama secara eceran.
"Yah, jualan beginian mah ada enak sama ga enaknya, neng. Capek sih, tapi saya seneng kerja beginian. Walau emang sih ga setiap hari saya dapet penghasilan, yang penting saya bisa makan itu juga udah cukup, " jawab Bapak Arifin menanggapi pertanyaan kami, saat kami menanyakan apakah beliau menyenangi pekerjaannya atau tidak.
Akhirnya, perbincangan singkat kami ini berakhir juga. Dengan napas yang terengah-engah karena menghisap asap rokok Bapak Arifin, akhirnya kami pun pergi kembali ke sekolah dengan hati yang riang gembira. Sebelum kami kembali, kami berfoto terlebih dahulu kepada Bapak Arifin.
"Siap ya, Pak. Satu, dua, tiga, cekrek"
dan inilah Fotonya. Ganteng bukan?
Karya ini dibuat oleh:
Isabella Wisfataputri X6-14
dan
Raissa Multaputri X6-22
No comments:
Post a Comment