Friday, April 25, 2008

Katherine X.6/17

Refleksi Pribadi “Miskin Harta, Kaya Iman”

Katherine. S
X.6/17



Ketika pertama kali saya melihat Ibu Poniem, bayangan saya akan hidupnya berbeda jauh dari realita. Beliau terlihat sehat dan cerah, seperti tidak ada beban apapun dalam hidupnya. Namun ketika kami mulai mewawancarainya, cerita tentang hidupnya pun bergulir.
Beliau ternyata dilahirkan di Yogyakarta sebagai seorang yatim-piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan dan menurut beliau, ayahnya menjualnya ketika masih bayi kepada seorang wanita yang menjadi ibu angkatnya. Pada tahun 70, Ibu Poniem pergi merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sehingga bisa membiayai ibu angkatnya yang sedang sakit.
Sekarang ini beliau bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di dua buah tempat. Dari pagi sampai siang di satu rumah, sedangkan dari siang sampai sore di tempat satunya. Belum cukup kesibukannya, sesampainya beliau di rumah kontrakannya, beliau masih menerima cucian yang dititipkan oleh tetangga sekitarnya.
Di rumah, beliau tinggal bersama anak lelaki satu-satunya dan dengan ibu mertuanya yang pelit. Ponidar sebenarnya bukan anak Ibu Poniem satu-satunya. Ia pernah memiliki seorang kakak dan seorang adik—dulu. Namun kedua saudara kandungnya tersebut karena sakit yang tidak diobati, karena tidak ada biaya.
Tak cukup penderitaan Ibu Poniem, suaminya yang adalah seorang Betawi pergi meniggalkannya. Tanpa uang. Sehingga ketika anak bungsunya—adik Ponidar—baru berumur 1 bulan, Ibu Poniem sudah harus mencari nafkah untuk keluarganya. Ia mengaku bahwa setelah beliau menikah, beliau merasa sengsara. Sebab suaminya tak segan untuk memukulnya. Kini beliau harus mencari nafkah untuk anaknya, mertuanya, dan juga ibu angkatnya seorang diri.
Saya merasa Ibu Poniem adalah sosok yang sangat tegar dalam menghadapi hidup. Segala cobaan beliau hadapi dengan hati lapang. Kebanyakan orang akan mengomel kepada Tuhan jika hal-hal buruk menimpanya, bahkan hal kecil sekalipun. Sedangkan Ibu Poniem menanggung beban yang berat, namun masih bisa tersenyum dan tegar menjalani hidup. Ia berkata bahwa beliau tidak pernah menganggap hidup ini susah. Beliau percaya bahwa beliau harus bersikap sabar, sebab orang sabar disayang Tuhan. Saya pribadi mempercayai hal tersebut. Apalagi ketika mendengar bahwa dengan gaji yang kecil dan dengan banyaknya mulut yang harus disuapi, keluarga Ibu Poniem bertahan hidup dengan uluran dari tangan-tangan disekitarnya yang berbaik hati menolong.
Saya rasa, kita semua harus belajar dari Ibu Poniem. Nasib kita lebih baik dari kita. Hal-hal buruk yang menimpa kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hal-hal yang menimpa beliau. Namun kita terlalu cepat putus asa dan terjatuh jika ada hal-hal diluar rencana menimpa kita. Karena itu kita perlu mencontoh Ibu Poniem. Hidup seadanya, namun memiliki iman yang begitu besar kepada Allah.

No comments: