Friday, April 25, 2008

Ketika Seorang Tua Membuka Mata – Raissa X6/22

Hidup di kota besar dengan penduduk padat seperti Jakarta, membuat saya tidak asing lagi dengan kata kemiskinan. Namun, keseharian saya yang terbilang cukup, lambat laun membuat saya kebal terhadap kata tersebut, sehingga tidak memberikan perhatian terhadap orang-orang yang mengalaminya. Seringkali, saya memilih berdiam dalam dunia saya yang nyaman tanpa mau menengok ke luar jendela melihat apa yang sedang dilakukan sesama saya manusia. Saya pikir, biarlah masing-masing orang mengurus dirinya sendiri dan tidak saling mengusik akibat rasa ingin tahu yang berlebih.

Tugas wawancara yang saya dan Bella lakukan memaksa saya merefleksikan kehidupan, yang kemudian merubah pola pikir saya.

Hari itu hari Senin, cuaca panas akibat matahari yang menyengat. Saya dan Bella berjalan di sepanjang Pasar Baru yang sepi, mencari wajah ramah yang dapat kami wawancara berkaitan dengan tugas kali ini. Namun, yang kami dapat adalah teriakan dan siulan iseng dari abang-abang bermuka seram yang nongkrong di pos satpam. Ketika sudah hampir putus asa, tiba-tiba kami melihat seorang bapak tua penjual uang lama, duduk santai sembari mengepulkan asap rokok. Kami pun memutuskan untuk mewawancarai bapak tersebut, hanya karena kami sudah lelah mencari. Kami sama sekali tidak mengira bahwa justru dari seseorang yang kami pilih secara acak, kami memperoleh pembelajaran nyata mengenai hidup yang keras ini.

Bapak Arifin, penjual uang lama tersebut, adalah seorang duda dengan 6 orang anak yang ia besarkan seorang diri. Dari kenyataan tersebut, saya belajar bahwa hidup ini merupakan kerja keras demi tercapainya suatu tujuan. Jika ditanya, apa tugas saya sebagai seorang pelajar, saya dapat menjawab dengan cepat tanpa tersendat, bahwa tugas saya adalah belajar. Namun untuk melaksanakannya, sungguh bukan merupakan hal yang mudah bagi saya. Seringkali saya tergoda untuk nonton, ngobrol dengan teman di telepon, sms-an, membaca majalah, dan hal-hal lain yang lebih menyenangkan daripada belajar. Namun, melihat Bapak Arifin yang susah payah menyekolahkan anak-anaknya agar mereka dapat hidup lebih baik, sungguh menyadarkan saya bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup, mencapai cita-cita, diperlukan kerja keras dalam jumlah yang tidak sedikit.

Bapak Arifin sudah berjualan di Pasar Baru sejak tahun 1958. Ketika mendengar hal ini, reaksi spontan saya adalah berkata, ”Hah?” dengan mulut menganga. Dalam hati saya, bahkan ayah saya saja belum lahir! Otak saya pun langsung berputar menghitung lamanya tahun yang sudah dilalui. 2008-1958=50 TAHUN. Dari kenyataan ini, saya belajar mengenai ketekunan dan sikap pantang menyerah. Ketika membandingkan diri saya dengan Bapak Arifin, saya sungguh merasa malu karena saya seringkali mudah putus asa ketika menghadapi masalah, yang saya yakin tidak lebih berat dari masalah yang dialami Bapak Arifin.

Sekarang ini anak-anak bapak Arifin semuanya sudah menikah. Namun, Bapak Arifin tidak ingin merepotkan mereka, sehingga beliau kos seorang diri di dekat Pasar Baru. Saya tidak ingin memaki mengenai mengapa anak-anak Bapak Arifin tidak mengurus sang ayah yang telah susah payah membesarkan mereka. Yah saya mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin mereka punya alasan tersendiri untuk itu. Terlepas dari hal tersebut, saya sungguh kagum akan sikap Bapak Arifin yang tidak mau menyulitkan dan memilih hidup mandiri. Saya mencoba membayangkan diri saya berada dalam situasi yang sama: badan sudah renta, tanpa materi yang mencukupi. Jika hal itu terjadi, saya tentu akan meminta bantuan dari kerabat saya dan menciptakan alasan-alasan bagi diri saya agar tidak perlu bekerja lagi. Namun, tidak demikian halnya dengan Bapak Arifin. Ia justru berusaha membiayai hidupnya sendiri dengan bekerja setiap hari, sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan orang tua seumurnya. Dari beliau, saya belajar untuk mengandalkan diri sendiri dan tidak bergantung pada belas kasihan orang lain.

Selain hal-hal di atas, saya juga belajar untuk selalu bersyukur. Saya akui, selama ini saya kurang berterimakasih atas keadaan saya. Saya justru seringkali melihat ke ’atas’, suatu kebiasaan yang memicu tumbuhnya budaya iri hati. Saya lupa, bahwa di sekitar saya ada begitu banyak orang yang harus berusaha keras untuk hidup. Namun, saya juga sadar bahwa rasa syukur saya tidak boleh berhenti pada sekedar rasa syukur saja. Seperti kata ibu saya, jika kita diberi maka kita harus memberi pula, rasa syukur tersebut harus saya wujudkan dalam perbuatan kasih kepada orang-orang di sekitar saya yang berkekurangan.

Wah, ternyata ada begitu banyak hal yang telah saya dapatkan dari orang tua sederhana: Bapak Arifin, seorang penjual uang lama di Pasar Baru.

No comments: