Saturday, April 26, 2008

Berawal dari jamu..

Jumat pagi yang sibuk. Dimana kendaraan mulai memadati jalan raya, orang-orang berlalu lalang di trotoar, dan mereka yang tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Di tengah kesibukan pada pagi hari itu, kami menemui seorang penjual jamu yang tak kalah sibuknya menawari jamu dagangannya. Kami pun menghampirinya dan memutuskan untuk membeli 2 gelas jamu. Walaupun, jamu menjadi sesuatu yang cukup langka dalam tenggorokan kami. Dan wawancara kami pun berawal disini. Meskipun pada awalnya, mba penjual jamu ini agak terlihat enggan untuk diwawancarai, namun kami berhasil meyakinkannya untuk bercerita mengenai dirinya dan profesinya.
Panggil saja namanya Mba Sri. Sejak lulus sd pada tahun ’85, ia membuat sebuah keputusan besar yang cukup mengubah hidupnya. Ia tidak melanjutkan pendidikannya, melainkan merantau dari kampung halamannya, Desa Sampiran, Jawa Tengah ke ibukota bersama seorang teman. Harapan untuk menjadi pembantu rumah tangga semakin sirna, karena tak ada 1 pun kenalan yang dapat membantu mereka. Ketika itu, umurnya masih 17 tahun dan ia tinggal bersama budenya di Jakarta.
Sambil menyerahkan jamu pesanan kami, ia pun melanjutkan ceritanya. Pekerjaan budenya sebagai penjual jamu, membuat dirinya terbiasa untuk meracik bahan dan menjadi tukang jamu gendong bersama budenya. Setelah 2 bulan, timbulah dalam benaknya untuk menjadi tukang jamu seperti budenya. Sejak saat itu hingga hari ini, ia telah menekuni profesinya selama 25 tahun. Pada saat itu juga, ia bertemu dengan lelaki yang kini menjadi suaminya. Menikah di usia muda, menjadi pilihannya saat itu. Kini, ia telah dikaruniai 3 anak, anak pertama lelaki, berumur 22 tahun. Sedangkan anak kedua perempuan, berumur 18 tahun. Dan anak ketiganya lelaki, baru berusia 4 tahun.
Meski dengan kehidupan yang pas-pas an, ia berhasil menyekolahkan kedua anaknya. Anak pertamanya mendapat keringanan untuk bersekolah di STAN dan telah menyelesaikan kuliahnya. Kini tengah melamar di berbagai sekolah untuk menjadi guru agama. Sementara anak keduanya, sedang menjalani ujian kelulusan. Dan anak ketiganya, belum sekolah.
Mba Sri terlahir sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara. Kakak laki-lakinya yang pertama berusia 47 tahun dan berprofesi sebagai tukang sayur. Sementara kakak laki-lakinya yang kedua berusia 43 tahun dan berprofesi sebagai guru agama. Adik perempuannya berusia 35 tahun dan berprofesi sebagai sales. Ketiganya telah berkeluarga dan tinggal di Jawa tengah. Jauh dari keluarga dan saudaran, membuatnya dulu saat masih tinggal bersama bude, pulang ke kampung halamannya setiap 6 bulan sekali. Namun kini, rutinitas itu tidak bisa terus berlanjut, mengingat biaya yang tidak sedikit.
Selama 2 tahun, Mba Sri dan suaminya tinggal bersama dengan bude. Hal ini dikarenakakan mereka belum mendapatkan rumah untuk mereka tinggali. Adapun, suaminya hanya bekerja sebagai tukang yang biasa membantu dalam renovasi. Pekerjaan ini membuatnya sering mengganggur bila tidak ada proyek.
Entah mengapa, meski telah bekerja keras siang malam, tidak juga mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Sebagai manusia biasa, kadang Mba Sri sering merasa bahwa Tuhan tidak adil kepada dirinya dan keluarganya. Namun itu semua dapat ia lalui dengan ketegaran hati, hingga saat ini ia masih bisa bertahan, masih dapat menyekolahkan anak-anaknya meskipun harus dengan jatuh bangun. Ia sungguh berharap, bahwa ketiga anaknya kelak dapat menjadi mencapai lebih daripada apa yang telah ia dan suaminya capai.
Pernah terlintas sejenak dalam pikirannya untuk beralih profesi, dengan maksud mendapatkan hidup yang lebih baik. Namun pikiran itu segera diurungkannya, mengingat kemampuan dan latar belakang pendidikannya yang terbatas. Lagipula kini, ia tengah asyik menekuni profesinya sebagai tukang jamu. Bahan untuk meracik tidak sulit didapatnya, dan lagi ia dapat membelinya dengan harga yang murah dari seorang kenalan. Ia juga merasa bangga dapat meneruskan warisan budaya Indonesia. Meskipun, tak dapat menyembunyikan dukanya, ketika dagangannya sepi pelanggan.
Wawancara ini pun kami akhiri. Setelah membayar Rp. 4000,00 untuk 2 gelas jamu yang tadi kami minum, kami pun pamit dan mengucapkan banyak terima kasih. Sungguh menjadi pengalaman yang sangat berharga, dan semakin membuka mata kami kepada kehidupan orang-orang di sekitar kami.

No comments: