Monday, June 9, 2008
Sunday, May 11, 2008
Doaku...
Keluarga yang tidak lengkap tanpa ayah, keadaan uang yang buruk, berbagai kejadian dalam kehidupan membuatku berpikir aku tidak beruntung.
Tapi Engkau membuka mataku, membuka mata ku tentang dunia yang tidak pernah kulihat.
Aku beruntung, itu yang kupikirkan.
Aku masih memiliki keluarga yang baik, masih dapat sekolah, masih memiliki rumah, masih dapat makan, dan masih berkecukupan disaat orang lain belum tentu mempunyai semua nya itu.
Terima kasih Tuhan, karena telah menyadarkan ku.
AMIN
Hana Mathilda
X6-13
Saturday, May 10, 2008
beeeehhh
ULUM nih,, mati,..
maura.21
Wednesday, May 7, 2008
Refleksi Lucy X6-19
Bapak Agus. Seorang pedagang sayur keliling sederhana yang merupakan tamatan SD. Walau demikian, ia tidak kalah dengan banyak lulusan sarjana di
Setelah aku mengetahui tentang sebagian kecil riwayat Pak Agus dan keluarganya, saya merenung. Dalam sebulan, bahkan kebutuhan hidupku bahkan melebihi berkali-kali lipat dari penghasilan Pak Agus sehari-hari. Hal ini membuatku malu karena walau saya telah hidup dalam berkecukupan, bukannya berterima kasih kepada kedua orang tuaku yang memberikan semua itu, aku malah melawan mereka, dan kadang-kadang, dengan tidak tahu diri aku meminta sesuatu lebih dari seharusnya. Betapa durhakanya aku ini jika dipikir-pikir.
Saya renungi lebih jauh selama ini, saya juga sering menyalahkan Tuhan karena memberikan harta yang berbeda dari teman-teman. Kenapa kepunyaan mereka lebih bagus, sedangkan kepunyaanku sendiri kurasa jelek. Aku memang tidak bijaksana karena yang kupandang dan perhatikan hanya milik orang lain, bukan milikku sendiri. Coba saja aku perhatikan dan aku poles harta pemberian Tuhan padaku, pasti akan jadi harta terindah bagiku sendiri. Hal ini berlaku pula kepada orang lain.
Sejumput Kecil Kisah Pedagang Sayur
Tanya : Pak, maaf, Bapak mau ga diwawancara?
Jawab: uhmmm… boleh aja de… Mau nanya apa?
T : Bapak namanya siapa?
J :Agus.
T :Bapak udah berkeluarga belum?
J :Udah.
T :Istrinya berapa pak? Anak nya?
J :Lho ko ade nanyanya istrinya berapa? Satu lah de…hehehe. Kalo anak ada 2
T :Nama istrinya bapak?
J :Eeee… Sari Umi.
T :Kalau anaknya?
J :Yang pertama perempuan umurnya 11 tahun kelas 5 SD. Yang kedua cowok, umurnya 5 tahun.baru mau masuk TK.
T :Oh… Kalau begitu bapak tinggalnya di mana?
J :Di Cengkareng, Rawa Buaya. Rumahnya ngontrak, De..
T :Bapak uda bekerja sebagai pedangang sayur berapa lama?
J :Uda 2 tahun.
T :Belum terlalu lama juga ya. Oh iya… Bapak asalnya dari mana?
J :Saya dari Jawa, tepatnya si Pekalongan.
T :Kenapa bapak memilih pekerjaan sebagai pedagang sayur keliling?
J :Soalnya saya ga punya keterampilan. Dan saya belum punya pengalaman kerja.
T :Bapak tamatan apa?
J :SD
T :… Oh iya, bapak umur berapa?
J :35 tahun
T :Bapak puas gak dengan pekerjaan ini?
J :Puas-puas aja de.. Banyak untungnya. Misalnya kayak gini… Kalo ga laku masih bias dijual besok. Atau dimasak buat dirumah.
T :Keuntungan sehari-hari Bapak berapa?
J :Kalau rame yaaa 150 ribu, kalau sepi palingan 50 ribu.
T :Ooo gitu. Yang lumayan juga ya. Kalau boleh tanya satu pertanyaan lagi,… harapan bapak kedepan apa?
J :Yaaaa… moga-moga tetep laku de… Biar bisa punya tabungan juga. Anak-anak bisa sekolah sampai selesai dan rumah ga gontrak lagi.
T :Kalau begitu terima kasih ya pak..
J :Sama-sama. Permisi dulu ya de…
-FIN
Tugas Religiositas Hana (X6/13) dan Lucy (X6/19)
Sunday, April 27, 2008
Fina-Rebecca
F : Mas, cincaunya satu dong.
M : Iya, dek.
F : Mm.. mas, boleh tanya-tanya ngga? Ini buat tugas sekolah saya mas.
M : Boleh. Tanya aja.
F : Bener nih mas? Hehehe.
Mas kerja, jualan cincau, ini sejak kapan mas? Tahun berapa?
M : Tahun 1997.
F : Oh.. Lama juga ya. Kenapa mas milih jadi tukang cincau padahal banyak pekerjaan lain yang bisa dijadiin pekerjaan?
M : Ini dek cincaunya.
F : Oh iya mas. Makasih ya.
M : Iya.
F : Mas, pertanyaan yang tadi belum dijawab mas. Kenapa mas mau jualan cincau?
M : Karena gampang kerjanya.
F : Iya juga ya. Ngomong-ngomong, cincaunya satu lagi deh mas. Oh iya, kalo di gereja ini, sejak kapan mas?
M : Kalo di sini mah dari tahun 2002.
F : Dah lama juga ya mas. Terus, mas udah berkeluarga?
M : Udah.
F : Terus, maaf sebelumnya ya mas. Mm.. Penghasilan dari jualan cincau ini cukup ngga untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?
M : Cukup sih untuk sehari-hari kalau dulu. Soalnya kan masih sendiri. Kalau sekarang karena udah punya keluarga, ya dicukup-cukupin. Tapi cukup kok.
F : Oh gitu. Mm.. Maaf lagi nih mas. Mau tanya, sehari kira-kira untungnya berapa ya? Eh mas, tapi kalau ngga mau jawab juga ngga apa-apa kok. Hehe. Boleh ngga mas?
M : Boleh kok.
F : Berapa mas?
M : Kurang lebih 50 ribu.
F : Oh.. Lumayan juga ya.
M : Ini dek cincaunya.
F : Oh iya. Maksih mas. Berapa mas satunya?
M : Dua setengah. (baca : dua ribu lima ratus rupiah)
F : Oh. Jadi goceng (baca : lima ribu rupiah) ya mas. Nih mas.
M : Makasih dek. Ada lagi?
F : Iya mas, masih. Terakhir kok. Hehehe. Apa harapan mas dengan jualan cincau ini? Mau tetep jualan cincau atau yang lain? Kelau ada rejeki lebih mau gimana?
M : Saya sih pengennya tetep jualan ini. Tapi ya biar makin laku lah. Moga-moga aja jadi lebih laku. Ya kalau ada rejeki lebih buat anak, buat istri juga. Saya sih pengennya saya tetep dagang. Kan biar bapaknya dagang tapi anaknya sekolah mesti yang tinggi. Entar anaknya berhasil. Jadi bapaknya dagang tapi entar anaknya jadi bosnya. Gitu dek.
F : Hahahaha. Iya tuh mas. Emang yang paling penting anak. Kan entar mereka yang bakal nerusin. Ya udah deh mas. Gitu aja. Makasih banyak ya mas. Makasih boleh tanya-tanya buat tugas saya. Daagh mas.
NARASI
Di Jakarta, ada banyak sekali golongan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat. Kami, fina dan rebecca, telah menyoroti salah satu diantara mereka. Kami mengadakan perbincangan dengan penjual es cincau yang berjualan di depan gereja St. Paskalis setiap hari Minggu. Penjual itu terlihat masih muda. Ia berjualan dari tahun 1997. Namun, ia berjualan di depan gereja St. Paskalis semenjak tahun 2002. Ia sudah berkeluarga. Ia bekerja untuk menafkahi keluarganya tersebut. Penghasilan sehari-hari dari penjualan es cincau dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ia memiliki harapan agar anak-anaknya berhasil, walaupun dalam membuat anaknya berhasil dibutuhkan usaha yang besar dari dirinya sebagai pedagang. Sambil berbincang, kami pun membeli es cincau, yang merupakan barang dagangannya.
REFLEKSI
i. Rebecca X6 - 23
Setelah saya dan fina mewawancarai seorang tukang cincau, saya merasa prihatin dengan keadaannya. Ia adalah salah satu orang yang terjebak dalam garis kemiskinan di Indonesia. Ia membiayai seluruh anggota keluarganya dengan penghasilan yang pas-pasan. Namun demikian, saya salut dengannya yang masih ingin terus menekuni pekerjaan tersebut . Ia hanya ingin cincaulnya semakin laku. menurut saya, keadaan ini sangat berlawanan dengan para orang kaya yang berfoya-foya dengan hidup mereka tanpa menggunakan apa yang mereka miliki dengan seharusnya. Sementara tukang cincau yang susah ini terus berjuang karena memang hanya pekerjaan itu yang dapat membantu ia dan keluarganya bertahan hidup.Pelajaran yang dapat saya ambil adalah kita harus tetap berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kita miliki dan menggunakan kemampuan itu dengan sebaik-baiknya, tanpa merugikan orang lain yang juga ingin hidup layak seperti kita.
ii. Fina X6 – 25
Awalnya saya dan becca takut untuk bertanya kepada penjual itu. Maka, sebelum memulai sesi tanya-jawab, saya memesan es cincaunya terlebih dahulu. Setelah itu kami baru mulai bertanya. Ternyata penjual itu sangat ramah dan menjawab semua pertanyaan yang kami ajukan dengan baik. Ia juga tidak marah ataupun tersinggung ketika kami menanyai tentang besarnya penghasilan yang penjual itu dapatkan. Namun, penghasilannya tidak sebanyak yang saya kira sebelumnya. Jika dihitung-hitung, lima puluh ribu memang angka yang cukup banyak untuk penghasilan sehari-hari. Namun, ia harus membiayai istri dan anaknya sekaligus. Dan itu pun jika cincaunya laku dan terjual semua. Saya membayangkan jika suatu hari disaat musim hujan, yang pastinya akan sedikit orang yang membeli es cincau. Saya membandingkan hidup penjual itu dengan hidup saya. Betapa beruntungnya saya, kerena saya masih memiliki orangtua yang bisa memberikan apa yang saya inginkan. Saya cukup malu karena selama ini saya merasa apa yang diberikan oleh orangtua saya masih belum cukup. Ternyata di luar sana masih banyak orang-orang yang memiliki banyak kekurangan. Dan mereka pun harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan saya untuk mendapatkan uang sangat mudah karena tinggal meminta dari orangtua dan biasanya selalu diberikan. Dengan wawancara ini, saya telah disadarkan. Saya akan lebih bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan dan semua orang kepada saya, saya tidak akan banyak mengeluh, dan saya juga ingin berjuang dengan semangat pantang menyerah.
Saturday, April 26, 2008
We Should Be Very Thankful
Selama ini, saya dikelilingi dengan orang-orang yang juga memiliki kebutuhan yang lebih dari terpenuhi. Mungkin, oleh karena itu pula, saya lupa bahwa masih banyak orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan dan benar-benar berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi. Semangat pantang menyerah dan kerja keras yang tinggi benar-benar terpancar dari orang-orang seperti Bapak Rail dan masih banyak lagi.
Hidup memang sebuah misteri. Banyak orang yang bekerja sangat keras, namun hanya mendapat penghasilan yang pas-pasan, sedangkan banyak pula orang yang bekerja malas-malasan, namun mendapat lebih dari yang diperlukan sehingga akhirnya menghambur-hamburkan barang dan material yang dimilikinya. Bila dibandingkan dengan Bapak Rail, saya termasuk golongan orang yang kedua. Sebenarnya, pekerjaan saya sebagai seorang pelajar hanya belajar, itu pun dapat saya lakukan dengan hanya duduk sambil membaca buku di kamar yang dilengkapi AC. Kebutuhan saya pun sudah lebih dari terpenuhi. Saya bisa makan yang enak di mall, yang mungkin merupakan pemborosan karena tersedia pula makanan yang lebih murah di rumah atau warung-warung di pinggir jalan. Sedangkan Bapar Rail, jangankan makan di mall yang ber-AC, ia pun hanya tinggal dengan agennya, yang berarti bahwa ia tidak punya tempat tinggal sendiri di Jakarta ini. Bila ada di posisinya, saya pasti akan merasa tersiksa untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jumlah uang yang sama dengan penghasilan seorang penjual minyak tanah.
Saya merasa sangat bersyukur dengan keadaan saya saat ini. Saya juga disadarkan bahwa selama ini saya sudah terlalu banyak mengeluh. Bahkan, mungkin Tuhan juga sudah bosan mendengar keluhan dan kepenatan saya menjadi seorang pelajar.
Dengan bercermin pada kehidupan Bapak Rail, saya juga disadarkan untuk memiliki semangat pantang menyerah yang tinggi dalam kehidupan. Semenjak becak digusir, ia lantas langsung mencari pekerjaan lain. Saat ditanya apa yang akan dilakukan bila menjual minyak tanah sudah tidak lagi menguntungkan, jawabannya sangat sederhana, yaitu mencari pekerjaan lain. Sedangkan saya, begitu menerima hasil yang buruk, langsung mengeluh pada Tuhan. Sebenarnya, saya layak bersyukur karena diberikan kesempatan bersekolah di sekolah ternama dan dengan ruang kelas yang ber-AC. Di sisi lain, Bapak Rail hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMP. Semoga kita dapat semakin sering bersyukur pada Tuhan karena kehidupan yang kita miliki dengan menyadari bahwa ada sekian banyak orang yang tidak seberuntung kita.
Refleksi Clarissa X6-11
Apakah saya sudah cukup menghargai, mensyukuri, dan memperjuangkan hidup saya dengan sebaik-baiknya?
Dengan melihat Mereka, saya menjawab semua pertanyaan itu dengan sebuah kata TIDAK.
Mereka yang terlahir dengan keadaan yang berbeda, keadaan yang tidak menguntungkan, memiliki tujuan untuk hidup nya, memperoleh hidup seperti saya.
Saya yang terlahir dengan keadaan yang menguntungkan, belum dapat memutuskan apa tujuan hidup saya, tidak berfikir untuk masa depan, hanya untuk kesenangan sesaat sekarang.
Mereka rela untuk tidak sekolah demi mencari nafkah. Uang yang sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk menghidupi keluarga di umur yang muda.
Saya yang bersekolah, tidak mempergunakan sekolah dengan sangat baik. saya malas-malasan, sering ngedumel tentang sekolah. Dan di umur yang muda ini, tidak sering saya lakukan untuk mengumpulkan uang. bahkan saya sering untuk menghamburkan uang yang bukan berasal dari saya sendiri.
Mereka yang selalu, selalu, selalu dan tidak pernah putus asa untuk menghadapi lika-liku hidup nya yang begitu berat.
Saya yang selalu, selalu, selalu, dan tidak pernah putus asa untuk mengeluh menghadapi semua lika-liku baik yang ringan ataupun berat.
Mereka yang masih dapat menggambarkan senyuman di tengah kerisauan mereka. Mereka yang dapat mensyukuri apa yang telah mereka dapat ini, mereka yang tidak 'manja' untuk hidupnya.
Saya yang tidak dapat menggambarkan senyuman di tengah kerisauan hidup saya, kurang dapat mensyukuri hidup ini, dan terlalu manja untuk menghadapi hidup.
Mereka dan Saya hidup di dunia yang sama, waktu yang sama, bentuk yang sama, tapi kehidupan yang berbeda.
tapi justru dari kehidupan yang berbeda itu, saya melihat berbagai tingkah laku, cara berpikir yang selama ini tidak pernah saya terpikirkan. MALU, ya saya malu...
saya yang lebih berpendidikan dibanding mereka, lebih mampu dibanding mereka, dan lebih apa-apa dibanding mereka. Tidak bisa melakukan sesuatu yang berharga untuk hidup saya, tidak mandiri, dan tidak dewasa.
Mereka, telah menyadarkan saya dari sesuatu kesalahan yang amat sangat bodoh.
ya...
hidup yang penuh perjuangan
hidup yang patut disyukuri
dan
hidup yang harus dihargai
Refleksi Carolina x6-6
Usia yang sudah tak lagi muda ini, 49 tahun, membuatnya telah melampaui berbagai gejolak naik turun dalam hidup. Ia di-PHK dari pekerjaan sebelumnya sebagai salah satu karyawan bagian container di sebuah maskapai pelayaran, dan kemudian banting setir menjadi seorang hansip.
Pekerjaannya yang digaji tak seberapa tersebut membuatnya terkadang tak cukup untuk kehidupan sehari-hari. Untunglah istrinya bekerja juga sehingga kehidupan ekonominya bisa lebih tertopang. Istrinya bekerja sebagai penjual biophere (batu untuk kesehatan) dan menjual katering kecil-kecilan. Demi keluarganya beliau rela meninggalkan kampungnya di Sidoarjo untuk mencari sesuap nasi bagi mereka.
Walaupun kerjanya hanya sebagai satpam, beliau tidak pernah mengeluh soal itu. Beliau bahkan berkata bahwa sekecil apapun pekerjaannya, bila dijalani dengan segenap hati dan tanggung jawab maka tidak akan terasa berat. Aku rasa, itulah yang seharusnya aku contoh darinya. Aku lebih mampu darinya, tetapi aku selalu mengeluh terhadap apa yang aku punya. Padahal, di luar sana pun masih banyak orang yang bekerja hanya untuk menyambung hidup hari demi hari, demi mencari sesuap nasi. Aku menyadarinya karena Pak Suryanto, terima kasih, Pak!!
Dari Sidoarjo sampai Jakarta
Carolina x6-6
Maura x6-21Tanya : Permisi, Pak, boleh wawancara sebentar?
Jawab : Ooh boleh.. Silakan duduk.. Dari mana ini?
T : Kita dari Santa Ursula. Nama Bapak siapa?
J : Suryanto
T : Umurnya berapa, Pak?
J : Ya... 49.
T : Bapak sebenarnya kerja apa sih di sini?
J : Saya satpam di sini.
T : Setiap hari atau shift, Pak?
J : Oh, ngga... Shift dua hari sekali.
T : Sudah berkeluarga, Pak?
J : Oh, sudah.
T : Anaknya berapa, Pak?
J : Ooo.. Sudah besar-besar semua.
T : Sudah lulus semua ya, Pak?
J : Oh, sudah, sudah lulus SMA.
T : Sudah lama kerjanya di sini, Pak?
J : Ooh, sudah lama, 11 tahunan lah.
T : Oo.. udah lama sekali ya. Kenapa mau kerja di sini, Pak?
J : Oo, dulunya saya ngga di sini. Dulu di Priok, di salah satu maskapai pelayaran.
T : Jadi apa, Pak?
J : Di bagian container. Nah, terus ada PHK
T : Oh, yang tragedi Mei itu ya?
J : Iya, tahun 98, sejak itu.
T : Sejak itu Bapak baru beralih jadi satpam?
J : Yaa.. Kena PHK
T : Penghasilannya cukuup ngga, Pak, untuk kehidupan sehari-hari dengan Bapak sebagai satpam ini?
J : Ya kalau sekarang mah ya ngga cukup lah. Ya cuma gaji berapa, 450 ribu, 500 paling tinggi.
T : Hmm, gitu. Kalau ngga cukup, bagaimana cara Bapak untuk mengatasi kekurangannya itu?
J : Ya... Istri saya kebetulan kerja juga.
T : Kerja bisa membantu mencukupi untuk kehidupan sehari-hari?
J : Oo, cukup.
T : Kerja sebagai apa, Pak?
J : Ya.. Macam-macam ya. Sales kalung batu phere, batu untuk kesehatan. Ya di samping itu ya juga mengelola katering kecil-kecilan rantangan begitu.
T : Kampungnya di mana, Pak?
J : Oo, di Sidoarjo
T : Anak istri tinggal bersama Bapak di
J : Oo, ngga, mereka menetap di kampung.
T : Bapak apakah pulang kampungnya hanya setahun sekali setiap Lebaran begitu?
J : Yaa.. Tiga bulan sekali pulang.
T : Apa suka duka bekerja di sini sebagai satpam, Pak?
J : Ya.. Ngga ada lah. Sekecil apapun pekerjaannya kalau kita laksanakan dengan baik dengan tanggung jawab ya pasti senang.
T : Selama Bapak kerja di sini ada kejahatan ngga di daerah ini?
J : Ya daerah ini sebetulnya rawan juga ya.. Akhir-akhir ini tapi sudah membaik.
T : Oo.. Ya, terima kasih ya, Pak, atas waktu yang Bapak luangkan. Semoga kejahatannya semakin berkurang lagi.
J : Oh, ya mari, sama-sama juga.
Refleksi pribadi Religiositas
Perjuangan yang tidak mudah untuk dilalui sendiri. Pelajaran ini yang mungkin dapat saya petik dari Pak Suryanto. Saat kita jatuh, kita harus bisa berdiri, meski tanpa bantuan siapapun disekitar kita.Hidup pun harus kita perjuangkan sendiri. Hidup bagaikan perjalanan, sesulit apapun, kalau kita terus berjalan dan berjalan, suatu hari kita akan sampai di tujuan kita.
Walaupun begitu, kita tidak boleh sama sekali tidak memperhatikan sekeliling kita, karen mungkin saja ada orang yang membutuhkan pertolongan kita.
.
Hidup Dalam Kesendirian
Hidup Dalam Kesendirian
by : Yosephine Anastasia(x6/31)
Kala semua orang sedang terhenyap dalam mimpinya, kala sang jago belum siap untuk mengepakkan sayap dan mengeluarkan suaranya, seorang lelaki paruh baya sudah memulai aksinya. Dia mengais-ngais sampah dari satu tempat ke tempat lain. Walaupun matahari telah bersinar memanggang tubuhnya, namun tak menyurutkan langkahnya yang lesu untuk tetap berdiri. Tampak dari dari kejauhan raut mukanya menampakkan penderitaan yang tiada henti. Dan kami yakin dialah orang yang pantas untuk kami wawancarai.
Pak Haris, dengan tubuhnya yang tegap mengingatkan saya pada perjuangan hidup yang tetap harus dilalui dengan tegar seburuk apapun itu. Pak Haris yang bekerja dari pukul 3 pagi hingga pukul 1 malam tetap bersemangat menjalani harinya, walaupun ia tahu hanya sedikit uang yang dapat ia peroleh. Setiap hari Pak Haris hanya memperoleh uang Rp 6000,00. Padahal jika dibandingkan dengan Mie Babi di kantin, uang Rp 6000,00 tidak akan cukup untuk menikmati satu mangkoknya. Uang yang diperoleh Pak Haris tak seberapa dengan yang kita dapatkan setiap harinya. Setiap pergi sekolah kita selalu diberi uang saku lebih dari yang didapatkan Pak Haris sehari-hari. Ini yang membuat saya semakin kagum dengan Pak Haris. Dengan uang yang minim dia selalu berusaha untuk memenuhi semua kebutuhannya. Sedangkan kita, kita sering membuang-buang makanan tanpa memperhitungkan perjuangan yang telah dilakukan orang tua untuk mendapatkan makanan tersebut.
Pak Haris hidup sebatang kara di Jakarta, ia tidak memiliki saudara ataupun teman untuk berbagi cerita dengannya. Pak Haris benar-benar sendiri dalam menjalani dunia yang kejam ini. Namun demikian Pak Haris tetap bertahan dengan segala penderitaanya. Tidak seperti kita yang memiliki orang tua dan teman yang selalu melindungi dan memberi kehangatan untuk kita. Orang tua yang selalu memberi petunjuk dikala kita bingung, yang selalu merawat kita hingga kita menjadi dewasa. Serta teman yang membantu kita menemukan karakter kita yang sebenarnya, teman yang dapat menghibur dikala kita sedih dan teman yang selalu memberikan dorongan ketika kita merasa jatuh. Tetapi terkadang kita merasa mereka tidak ada artinya, padahal setiap orang dari mereka sangat penting artinya untuk kita. Bayangkan jika kita seperti Pak Haris yang hidup sendiri, tidak ada orang yang dapat membantu dia, tidak ada orang yang dapat member petunjuk padanya, yang ada hanyalah dia harus mengikuti kata hatinya.
Saat saya melihat Pak Haris jelas tergambar di raut mukanya dia ingin terus berjuang untuk mewujudkan niat tulusnya. Dia ingin sekali membantu orang miskin dan membangun pesantren. Sebagai orang yang serba kekurangan seharusnya Pak Haris hanya memikirkan perutnya dan nasib keluarganya. Tetapi disini Pak Haris menyadarkan saya bahwa kekurangan bukan alasan bagi kita untuk menjadi egois dan tidak memikirkan orang lain. Justru karena kekurangannya tersebut ia bisa merasakan juga penderitaan yang dialami orang miskin lainnya. Coba bandingkan dengan kita, terkadang kita tidak merasa kasihan dengan orang yang nasibnya tidak seberuntung kita, tidak ada dalam benak kita untuk berusaha keras membantu saudara kita yang dililit oleh penderitaan. Bagi kita orang miskin adalah sampah masyarakat, orang yang hanya menyusahkan negara dan merusak pemandangan kota. Seharusnya kita menganggap mereka sebagai seseorang yang patut untuk kita bantu. Akhir kata, Pak Haris telah membantu saya untuk menemukan satu sisi hidup yang tidak saya sadari.
Dia yang Tak Pernah Mengeluh
P : Pemulung
R : Risa (24)
Y : Yosephine (31)
Di hari yang panas, matahari telah menunjukkan kekuatannya. Kami bertemu dengan lelaki tua dengan letih mengais-ngais sampah. Ya, dia adalah seorang pemulung. Lalu kami coba mendekatinya dan bertanya sedikit tentang kesehariannya.
Y : Selamat pagi, Pak. Kami dari SMA Santa Ursula mendapat tugas untuk
mewawancarai orang yang kurang mampu. Apa boleh kami mewawancarai Anda?
P : Ya, boleh.
R : Namanya siapa, Pak?
P : Haris.
Y : Tanggal lahirnya kapan, Pak?
P : 9 Desember 1973.
R : Tempat tinggalnya di mana, Pak?
P : Ga punya.
Y : Lho, Bapak tidur di mana?
P : Saya tidur di bawah jembatan pakai koran.
R : Punya anak dan istri, Pak?
P : Punya.
Y : Berapa, Pak?
P : Satu anak, satu istri.
R : Mereka tinggal di mana, Pak? Bareng Bapak juga di kolong jembatan?
P : Nggak. Mereka tinggal di kampung.
Y : Kenapa Bapak nggak tinggal di kampung juga?
P : Saya ingin mengadu nasib di Jakarta.
R : Anak istri Bapak tahu tidak Bapak menjadi pemulung?
P : Nggak.
Y : Lalu mereka tahunya Bapak kerja apa di Jakarta?
P : Jadi kuli bangunan.
R : Kenapa Bapak bilang ke keluarga Bapak kalau Bapak kuli bangunan?
P : Mmm.. Supaya mereka ga khawatir dengan keadaan saya di Jakarta.
Y : Lalu Bapak suka telepon ke kampung nggak?
P : Tidak pernah.
Y : Udah berapa lama Pak kerja jadi pemulung?
P : Dua bulan.
R : Kenapa mau jadi pemulung, Pak?
P : Karena kerja susah. Ijazah ga punya. Jadi bisanya cuma kerja kayak gini.
Y : Memangnya Bapak mulung apa saja?
P : Aqua gelas dan botol.
R : Sehari bisa dapat berapa kilo?
P : 5 kilo.
Y : Satu kilonya berapa, Pak?
P : Tiga setengah. (Rp 3.500,00)
R : Jadi, pendapatan Bapak per hari berapa kalau boleh tahu?
P : Ga tentu. Biasanya sepuluh ribu.
Y : Itu pendapatan kotor atau pendapatan bersih?
P : Kotor.
R : Kalau bersihnya berapa?
P : Enam ribu.
Y : Pendapatan seperti itu cukup ga untuk kebutuhan Bapak sehari-hari?
P : Kalau cuma makan sih cukup.
R : Memang pengeluaran Bapak sehari-hari apa saja?
P : Hanya untuk makan.
Y : Pendapatan seperti itu ada sisa untuk ditabung tidak, Pak?
P : Tidak.
R : Lalu anak istri Bapak makan dari mana?
P : Orang tua saya bertani. Jadi mereka diurus oleh orang tua saya.
Y : Jadi, uangnya untuk Bapak sendiri?
P : Nggak. Saya mengirim uang dua atau tiga bulan sekali.
R : Kalau boleh tahu, berapa uang yang Bapak kirim?
P : Ga tentu. Tapi biasanya dua ratus ribu.
Y : Lho, uangnya dari mana? Bukannya tadi Bapak bilang uangnya hanya cukup untuk
makan?
P : Saya kerja sambilan juga. Kalau sampah lagi banyak di Matraman, saya jadi tukang
sampah.
R : Oh, jadi Bapak kerja sambilan juga. Lalu berapa pendapatan dari kerja sambilan itu?
P : Ya, kalau sampahnya lagi banyak, bisa sampai tiga puluh atau empat puluh ribu.
Y : Bisa nabung ga dari pendapatan kerja sambilan itu?
P : Bisa, dua puluh ribu per hari kalau sampahnya lagi banyak.
R : Kalau boleh tahu, Bapak makan apa sehari-hari?
P : Di warteg.
Y : Menunya apa , Pak?
P : Nasi, tempe, sayur.
R : Nggak pakai daging? Kuat, Pak? Bapak kan kerjanya berat.
P : Ya, kuat-kuatin.
Y : Bapak sehari makan berapa kali?
P : Kalau barangnya lagi dikit, saya makan sekali sehari. Kalau lagi banyak, bisa sampai tiga kali sehari.
R : Bapak mandi dan mencuci pakaian di mana?
P : Mandi di kali. Kalau pakaian dikasih orang.
R : Baju Bapak ada berapa?
P : Dua.
Y : Celananya juga dua?
P : Nggak, cuma satu.
R : Kalau pakaian dalam?
P : Cuma satu juga.
R : Bapak punya keluarga tidak di Jakarta?
P : Nggak.
Y : Lalu, Bapak tinggal di kolong jembatan sama siapa?
P : Sendiri.
R : Bapak mulung mulai dari jam berapa?
P : Jam tiga pagi saya udah mulai mulung.
Y : Pulangnya jam berapa, Pak?
P : Jam satu pagi.
R : Hah?? Ga capek, Pak? Bapak mulung ke daerah mana aja?
P : Dari Senen sampai Pondok Kopi.
Y : Naik apa?
P : Jalan kaki.
R : Setiap hari, Pak?
P : Iya, setiap hari.
Y : Bisa cerita ga, Pak, suka dukanya jadi pemulung?
P : Pernah saya diusir dan ditangkap dua kali sama tramtib. Kadang saya cari uang untuk makan aja susah.
R : Dipenjara, Pak? Di mana? Berapa lama?
P : Saya dipenjara 20 hari di Kedoya.
Y : Kalau Bapak punya uang, tabungan Bapak mau dibeliin apa?
P : Saya ingin pulang kampung dan membantu orang miskin dan pesantren yang ada di
kampung.
R : Ada pesan ga, Pak, buat saudara Bapak di kampung?
P : Jangan pergi ke Jakarta, di kampung aja bertani.
Y : Apa pendapat Bapak dnagn biaya yang semakin mahal?
P : Kalau boleh harga-harga diturunin.
R : Oh, makasih, Pak atas waktunya. Maaf menganggu.
Y : Makasih sekali lagi ya, Pak. Boleh foto dulu, Pak?
P : Oh, iya. Boleh, boleh.
R & Y : Makasih, Pak. Selamat pagi.